Posted by Agny Gallus Pratama | 2 comments

Don't Judge Someone! Until U Know The Truth.

ilustrasi gambar Kopaja

Sebelum menuliskan sesuatu, saya mengucapkan terima kasih kepada "Seorang Kondektur Kopaja P16" yang telah membantu saya di kejadian kala itu. 

Sabtu, 29 Maret kemarin menjadi hari yang mungkin akan teringat sepanjang hidup. Bagaimana rasanya dihadang segrombolan preman di jalanan umum. Yap, jalanan umum, lebih tepatnya di depan Kantor Walikota Jakarta Barat. Namun, untungnya dengan izin Allah SWT, ada seorang kondektur yang membantu saya terbebas dari gerombolan tersebut.

Hari sabtu kemarin, rencananya saya ingin pulang kampung dengan menaiki kereta ekonomi menuju Magelang via Jogja. Namun, ketidaktahuan akan libur panjang (Sabtu, Minggu, Senin) membuat saya tidak bisa mendapatkan tiket baik itu ekonomi, bisnis, atau eksekutif. Sehingga, dari pada menganggur di rumah Pakde, saya memutuskan mencari kost-kost an untuk diklat di daerah GITC, Duri Kosambi. 

Ketika itu, hanya dengan mengandalkan saran dari Pakde, saya pergi ke Duri Kosambi dengan bertanya-tanya ke sopir angkot. Dari pinggiran kota, saya menuju Ciledug dengan Angkot C01, kemudian saran yang  saya terima mengatakan untuk naik Kopaja P16 menuju Muara Angke, terus naik angkot 2x lagi menuju GITC. Setelah naik Kopaja P16, saya tanya lagi ke pak kondektur bagaimana cara ke Duri Kosambi dan saya pun mendapatkan jawaban yang sama dari beliau. Saya juga meminta tolong beliau untuk mengingatkan nanti ketika sampai di Muara Angke. 

Setengah jam berlalu, bus turun lama di daerah yang saya tidak tahu untuk menurunkan banyak penumpang. Berhubung kondektur tidak bilang apa-apa, jadi saya anggap belum sampai di daerah Muara Angke, tetapi ternyata hampir semua penumpang turun di daerah tersebut. Sehingga setelah kopaja mulai jalan beberapa menit, saya pun menanyakan kembali daerah yang saya tuju,

Bukannya mendapat jawaban, justru saya dimarah-marahi, bahkan di tarik bajunya untuk segera turun, karena supir dan kondektur akan berganti orang. Setelah saya turun, saya pun melihat Gedung Walikota JakBar yang begitu megah dengan perasaan takjub untuk menutupi kesal saya pada kondektur tadi. Kemudian, saya melihat seberapa jauh jalan yang seharusnya saya berhenti. Tidak begitu jauh ternyata,

Tanpa pikir panjang, ditengah terik matahari, saya pun mulai berjalan. Baru beberapa menit berjalan, di depan saya melihat gerombolan mas-mas dan bapak-bapak sedang bermain kartu dan bergurau ria. Saya  pun tak punya perasaan apa-apa ketika itu, hingga mendekati tempat tongkrongan tersebut, terkejutlah saya ketika dihadang mas-mas tersebut.

"Heh, mau kemana loe?", kata seorang mas, dengan tatapan sangar ala pendekar, #haha.

Belum sempat menjawab, ternyata mereka memandang kearah lain di belakang saya. Langsunglah saya juga memandang kebelakang. Ternyata, tanpa diduga ada abang kondektur yang membentak saya tadi.

Entah mengapa, tanpa rasa curiga terhadap kondektur, saya justru mengatakan, 

"Ni mo kesana bareng Abang ni". 

#Seharusnya, pikiran normal menyatakan bahwa saya akan dihadang dari depan dan belakang, dengan asumsi kondektur tadi bersengkongkol. Sehingga saya seharusnya siap menggunakan jurus langkah seribu secepat kilat.

Belum sempat dibalas oleh gerombolan  ini, abang kondektur justru menambahkan dengan, 
"Awas, gue ni mo makan bareng disana /sambil nunjuk lokasi".

Kemudian, saya pun didorong kondektur untuk maju jalan lagi menerobos, gerombolan preman. Untungnya, preman-preman tersebut memberi jalan, tetapi meracau tidak jelas kepada saya dimana saya tidak tahu apa yang diracaukan. 

Dengan terus berjalan di samping abang kondektur, beberapa detik kemudian, si abang ini, mengatakan   pelan kepada saya, "Terus jalan, jangan lihat kebelakang". Hingga akhirnya saya sampai di daerah yang dituju, abang kondektur pun tidak menjelaskan mengenai siapa preman tersebut, hanya menjelaskan nanti cara menuju GITC nya (Walaupun pada akhirnya, saya menggunakan jasa ojek untuk sampai GITC). Tanpa pikir panjang, saya hanya bisa berterima kasih kepada abang kondektur yang baik hati ini. Hanya dengan kata "Ya, sama - sama" abang ini pergi entah kemana. 

Ternyata memang benar, kehidupan Jakarta yang agak keras mengubah watak seseorang menjadi keras. Tetapi, watak ternyata berbeda dengan hati, entah apa alasannya, yang jelas, pengalaman ini lah jawabanya.

2 comments:

  1. Nice quote for the ending brother. Have a nice experience in the cwnter of indonesia. Thee are many bad people, so are good people.

    ReplyDelete
  2. Pernah ngalamin yang beginian juga.. bukan preman sih.. tp sales parfum.. ╯﹏╰

    ReplyDelete